Arti dari at-tathallu' ilash-shadaarah wa thalabur-riyadaah kita harus menganalisis terlebih dahulu artai dari kata ash-shadaarah dan arti kata ar-riyaadah. Dalam bahasa Arab, kata ash-shadarah berasal dari kata ash-shadr yang berarti sesuatu yang paling awal'. Kata tersebut bersinonim dengan kata at-taqaddum atau at-tara-us yang berarti posisi depan atau ketua.
Kalimat shadrun-nahaar wal-lail, shadrusy-syaithaa washsshaif, dan lainnya mempunyai pengertian masa yang paling awal dari waktu siang dan malam, atau musim hujan dan musim panas". (lihat Lisannul Arab, 4/445 dan ash-Shihaah, hal 593). Sedangkan kata ar-riyaadah diambil dari kata ar-raud yaitu at-tarwiid' pekerjaan ar-rara-id' seorang pemimpin. Kata tersebut juga bersinonim dengan kata at-taqaddum atau sikap lebih dahulu dalam melaksanakan suatu persiapandan persediaan'.
Kalimat ba'atsnaa raa-idan yaruudu lana al-kala' wal manzil berarti kami mengirim raa'id (pemimpin) untuk mencari tanah yang subur dan tempat pemukiman. Kata yartaadu berarti 'melihat', mencari', atau memilih yang paling baik. (Lisanul Arab, 3/187 dan as-Shihhah, hal 416). Dari penjelasan itu, maka dapat kita katakan bahwa arti dari at-tathallu' ilash-shadaarah wa thalabur-riyaadah yakni, ambisi untuk lebih dahulu menjadi ketua atas orang lain, dan memohon kedudukan tersebut secara terang-terangan".
Sedangkan menurut istilah syariah dan dakwah, pengertian at-tathallu' ilash-shadaara wa thalabur-riyaadah yakni, keterpautan hati untuk menduduki jabatan ketua atau pemimpin serta berusaha mencalonkan dirinya secara terang-terangan ataupun dengan sebuah ancaman, dia akan berhenti dari harakah atau tidak lagi akan melaksanakan suatu kewajiban dan menunaikan tuntutan risalah, jika dirinya tidak diberi jabatan yang diinginkan tersebut.
Hakikat At-Tathallu' Ilash-Shadaarah Wa Thalabur-Riyaadah Dalam Perspektif Islam
Ajaran Islam sangat melarang dan mencela sikap ini. Bahkan terhadap mereka yang bersikap seperti itu mendapat ancaman yang pedih. Nabi Shallahu alaihissalam bersabda :"Demi Allah. Kami tidak akan menyerahkan kekuasaan ini kepada seseorang yang memintanya, dan tidakpula kepada orang yang berambisi mendapakannya". (HR : Bukhari-Muslim).
"Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta jabatan kepemimpinan, karena jika kamu diberi jabatan itu lewat permintatan, maka kamu akan diserahkan sepenuhnya kepada jabatan itu. Akan tetapi, jika kamu diserahi jabatan tanpa kamu memintanya, maka ka,mu akan ditolong (oleh Allah) dalam melaksanakannya". (HR : Bukhari - Muslim).
Diriwiyatkan pada suatu hari Abu Dzar ra bertanya kepada Rasulullah Shallahu alaihi wassalam.
"Wahai Rasulullah mengapa engkau tidak menggunakan aku (untuk memimpin?)" Mendengar hal tersebut Rasulullah menepuk punggung Abu Dzar, lalu menjawab : "Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah sedangkan kepemimpinan itu adalah amanah. Pada hari kiamat kelak ia akan berubah menjadi kekecewaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang telah melaksanakan jabatannya dengan benar dan menunaikannya apa yang harus dilaksanakannya dalam jabatan tersebut". (HR : Bukhari Muslim)
Al-Miqdan bin Ma'di Yakrub meriwayatkan bahwa sambil menepuk punggungnya Rasulullah shallahu alaihi wassalam berkata kepadanya, "Kamu beruntung wahai Qadiin, jika kamu mati dan kamu tidak menjadi seorang penguasa, tidak menjadi seorang juru tulis, dan tidak menjadi orang yang terkenal". (HR : Abu dan Ahmad)
Demikianlah pendirian Islam dalam memandang sikap ambisi terhadap kepemimpinan dan jabatan. Kemudian bagaimanakah halnya dengan para Nabi yang memohon kepemimpinan dan menyucikan pribadinya agar Allah memberinya jabatan?
Misalnya, Nabi Yusuf yang telah memohon kepada Allah agar dirinya diberikan suatu jabatan, sebagaimana diceritakan di dalam al-Qur'an surat Yusuf ayat 55.
"Ya Allah.Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaa lagi berpengetahuan". Atau bagaimanakah pandangan Islam terhadap para ibaadur - rahman yang juga telah meminta kepemimpinan sebagaimana termaktub dalam surat al-Furqan 74. "Dan orang-orang yang berkta, "Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang bertakwa".
Jawabannya ialah, kita pada dasarnya boleh-boleh saja mengharapkan kepemimpinan atau suatu jabatan, tetapi dengan catatan, pertama, permohonannya itu langsung ditujukkan kepada Allahdan bukan kepada manusia. Kedua, dia telah memiliki bekal dan kemampuan yang memadai untuk menjadi seorang pemimpin. Ketiga, diniatkan sebagai ibadah dan dalam rangka melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar.
Ketiga landasan itulah yang dipakai Nabi Yusuf as saat mengharapkan kepemimpinan sebagaimana diceritakan dalam ayat diatas. Nabi Yusuf meminta jabatan tersebut hanya kepada Allah, dan beliau memang memiliki potensi dan kemampuan untuk mengemban jabatan tersebut, serta bertujuan menegakkan dan menyerukan kebenaran dan untuk menyelamatkan Mesir dari kehancuran yang lebih dahsyat lagi. Firman-Nya.
" ... Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini .."(QS : al-Baqarah : 251). Insya Allah bersambung.