Perlindungan korban tindak pidana dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban tindak pidana memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Akuang hanya divonis 20 tahun penjara dan denda Rp.200 juta yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang terhadap terdakwa Akuang pemilik shabu-shabu (crystal methamphetamine) seberat 955 kg pada menimbulkan polemik di berbagai kalangan. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Salman Maryadi menyatakan hukuman yang diterima Akuang merupakan hukuman maksimal terhadap jenis psikotropika golongan II dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Barang bukti shabu-shabu yang dimiliki Akuang, dengan nama asli Samin Iwan, termasuk jenis psikotropika golongan II.
Dari sekian item yang terdapat dalam daftar barang bukti yang jumlahnya hampir 1 (satu) ton tersebut, seluruhnya dinyatakan sebagai golongan II berdasarkan hasil laboratorium yang ada di berkas perkara dan dilampirkan oleh penyidik Kepolisian. Yang dimaksud psikotropika golongan II dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Psikotropika adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Berkenaan dengan itu, pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menggantikan dua undang-undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sudah dinyatakan tidak berlaku lagi atau sudah dicabut melalui Pasal 153 dan 155 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tertanggal 12 Oktober 2009. Tentu saja terhadap seorang pelaku tindak pidana Narkotika dan Psikotropika mulai dari penangkapan sampai dengan penjatuhan sanksi, tidak lagi berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, melainkan sebagai dasar hukum yang dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu perbedaan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut dinyatakan bahwa sabu-sabu bukan lagi disebut psikotropika. Sabu-sabu sudah dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai Narkotika golongan I.
Selain itu, golongan I dan golongan II pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika semuanya sudah dimasukkan ke dalam daftar golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin diperketatnya hukum dalam pengaturan sanksi terhadap bagi siapa saja yang menyalahgunakan Narkotika maupun Psikotropika baik sanksi pidana maupun sanksi denda. Sebagai dasar hukum dinyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sudah tidak berlaku lagi adalah merujuk kepada Pasal 153 dan Pasal 155 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya dalam penelitian ini disebut Undang-Undang Narkotika yang Baru), yaitu, Dengan berlakunya Undang-Undang ini: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Selanjutnya dalam Pasal 155 disebutkan bahwa, “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”.Diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada tanggal 12 Oktober 2009 maka undang-undang ini telah mempunyai daya laku dan daya mengikat dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika, maka secara otomatis UndangUndang Nomor 35 tahun 2009 yang harus diterapkan. Penerapan hukum melalui undang-undang yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku jelas melangar asas legalitas dan HAM. Hal ini sejalan dengan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA tentang Hak Azasi Manusia yang berbunyi, ”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Penerapan hukum yang tidak ada dasar hukumnya jelas merupakan perbuatan sewenang-wenang dan melanggar asas legalitas sebagai landasan untuk menuntut setiap adanya tindak pidana Narkotika. Narkotika merupakan bagian dari Narkoba. Menurut batasan WHO tahun 1969 bahwa, yang dimaksud dengan Narkoba adalah zat kimia yang mampu mengubah pikiran, perasaan, fungsi mental, dan perilaku seseorang menjadi tidak normal. Sedangkan yang dimaksud dengan obat (drugs) adalah zat-zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh organisme yang hidup, maka akan mengadakan perubahan pada satu atau lebih fungsi-fungsi organ tubuh. Awalnya pada waktu dulu, telah disepakati bahwa narkoba merupakan kependekan dari Narkotika dan Obat-Obat Berbahaya (dalam penelitian ini, selanjutnya disebut Narkotika dan Psikotropika).
Kemudian disadari bahwa kepanjangan narkoba yang demikian itu keliru, sebab istilah obat berbahaya dalam ilmu kedokteran adalah obat-obatan yang tidak boleh diperjual-belikan secara bebas karena pemberiannya dapat membahayakan bila tidak melalui pertimbangan medis, misalnya antibiotik, obat jantung, obat darah tinggi, dan sebagainya. Semua obat tersebut adalah obat berbahaya tetapi bukan termasuk narkoba. Jadi, kepanjangan narkoba yang tepat saat ini adalah Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Aditif Lainnya. Secara terminologi dalam kamus besar bahasa Indonesia bahwa narkoba adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau rasa merangsang. Secara etimologis narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan. Sedangkan narkotika dalam bahasa Yunani yaitu narke atau narkam artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari kata narcotic artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stufor(bingung), bahan-bahan pembius dan obat bius.
Pengertian narkotika menurut Mardani adalah, ”obat atau zat yang dapat menenangkan syaraf, mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa sakit dan nyeri, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang, dapat menimbulkan efek stufor, serta dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan”. Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Aditif Lainnya adalah berbagai macam obat yang semestinya dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan tertentu misalnya pada dunia medis untuk membantu proses kerja dokter dalam melakukan operasi bedah. Akan tetapi saat ini obat-obat terlarang ini telah dikonsumsi, diedarkan, dan diperdagangkan tanpa izin berwajib demi memperoleh keuntungan dan nikmat sesaat saja. Karena pengaruh Narkotika dan Psikotropika tersebut dapat membuat pemakai menjadi ketergantungan, merusak sampai ke sel-sel saraf manusia sehingga melemahkan daya pikir dan lambat memberikan rekasi terhadap lawan bicara. Untuk menganalisa materi pelajaran bagi pelajar dan mahasiswa yang terkena bahaya Narkotika atau Psikotropika dapat mengakibatkan pada kelambatan berfikir, sehingga harapan dalam pencapaian pembangunan nasional dapat terganggu.
Bahaya mengedarkan Narkotika dan Psikotropika dapat dibayangkan berapa banyak sel syaraf otak manusia yang akan dirusak, berapa generasi muda, anak sekolah, dan mahasiswa terus diburu pengedar Narkotika dan Psikotropika tersebut, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Ketergantungan terhadap Narkotika dan Psikotropika pada mulanya ingin coba-coba dulu, karena Narkotika maupun Psikotropika tersebut dapat membuat pemakainya berhalusinasi seolah lupa tehadap masalah dan berada pada dunia keindahan. Jika faktor kesempatan untuk mendapatkan Narkotika dan Psikotropika sangat mudah dari pengedar, maka dapat mengakibatkan korban akan semakin bertambah. Melihat besarnya bahaya penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika terhadap individu dan mengganggu pencapaian cita-cita NKRI, maka, terhadap Narkotika maupun Psikotropika, harus dilakukan penanggulangannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subjek yang paling banyak disoroti adalah si pelaku. Padahal dari suatu kejahatan, kerugian yang paling besar diderita adalah pada si korban kejahatan tersebut.
Akan tetapi, sedikit sekali ditemukan hukum-hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang mengatur tenang korban serta perlindungan terhadapnya. Berbicara mengenai upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana Narkotika dan Psikotropika yang tepat, maka cara pandang sebaiknya tidak hanya terfokus pada berbagai hal berkaitan dengan penyebab timbulnya kejahatan atau metode apa yang efektif dipergunakan dalam penanggulangan kejahatan tersebut. Namun, hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami adalah masalah korban kejahatan itu sendiri, yang dalam keadaan-keadaan tertentu dapat menjadi pemicu munculnya kejahatan dalam tindak pidana Narkotika dan Psikotropika tersebut. Pada saat berbicara tentang korban kejahatan dalam tindak pidana Narkotika dan Psikotropika, maka cara pandang tidak dapat dilepaskan dari victimologi. Melalui victimologi dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti faktor penyebab munculnya kejahatan penyalahgunaan, bagaimana seseorang dapat menjadi korban penyalahgunaan, dan upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan penyalahgunaan, serta hak dan kewajiban korban kejahatan dalam tindak pidana Narkotika dan Psikotropika tersebut.
Secara victimologi terhadap korban kejahatan dalam tindak pidana Narkotika dan Psikotropika misalnya korban yang ditemukan pada anak usia 7 tahun sudah ada sebagai pemakai, anak di usia 8 tahun sudah ada yang memakai ganja, dan lalu di usia 10 tahun anak-anak sudah menggunakan Narkotika ataupun Psikotropika dari berbagai jenis seperti ganja, heroin, morfin, ekstasi, dan sebagainya. Korban dalam lingkup victimologi memiliki arti yang luas, karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan terhadap korban dan/atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan. Pentingnya korban kejahatan dalam tindak pidana Narkotika dan Psikotropika memperoleh perhatian utama. Dikarenakan korban merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kejahatan, oleh karena itu, maka korban memiliki peranan yang sangat penting dalam penelitian ini.
Diperolehnya pemahaman yang luas dan mendalam tentang korban kejahatan dalam tindak pidana Narkotika dan Psikotropika, dapat memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang pada akhirnya akan bermuara pada menurunnya kuantitas dan kualitas kejahatan. Sejalan dengan semakin berkembangnyavictimologi, sebagai cabang ilmu baru, berkembang pula berbagai rumusan tentang victimologi. Kondisi ini hendaknya tidak dipandang sebagai pertanda tidak adanya pemahaman yang seragam mengenai ruang lingkup victimologi, tetapi harus dipandang sebagai bukti bahwa victimologi akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi obyek pengkajian dari victimologi penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, di antaranya adalah pihak-pihak mana saja yang terlibat/mempengaruhi terjadinya kejahatan, bagaimanakah respon terhadap suatu adanya korban kejahatan, faktor terjadinya kejahatan, dan bagaimanakah pengaturan Narkotika dan Psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Oleh sebab itu, maka judul yang dipilih untuk diteliti dalam penelitian adalah “Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropka Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Dari Perspektif Victimologi”.
B. Perumusan Masalah
1. Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika?
2. Bagaimana perkembangan pengaturan tentang tindak pidana Narkotika dan Psikotropika sebelum dan menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009?
3. Bagaimana pengaturan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dari perspektif victimologi?