Pembatal-Pembatal Keislaman
sumber: http://buletin.muslim.or.id/aqidah/pembatal-pembatal-keislaman
buletin At Tauhid edisi V/40, Oleh: Ari Wahyudi
Pengertian Islam
Islam dapat dipahami dengan memadukan beberapa pengertian. Pertama, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam
adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali
Allah, Muhammad adalah utusan Allah, kamu dirikan sholat, kamu tunaikan
zakat, kamu berpuasa Ramadhan, dan kamu menunaikan haji ke Baitullah
jika kamu mampu untuk melakukan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim). Dan juga sabda beliau, “Islam
itu dibangun di atas lima perkara: hendaknya Allah itu ditauhidkan,
mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.”
(HR. Bukhari dan Muslim, ini lafazh Muslim). Kedua, Islam itu mencakup 3
unsur pokok: kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk
kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari kemusyrikan
dan pelakunya. Ketiga, Islam dengan makna Iman yaitu lawan dari
kekafiran, sebagaimana kaidah yang dikenal di kalangan para ulama bahwa
apabila kata islam disebutkan secara sendirian maka ia sudah mencakup
iman, demikian pula sebaliknya. Adapun apabila islam disebutkan
bersamaan dengan iman maka keduanya menunjukkan dua hal yang berlainan.
Untuk bisa memahami pembatal keimanan terlebih dulu harus dipahami
pengertian iman.
Pengertian Iman
Iman dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencakup lima rambu-rambu:
keyakinan di dalam hati, ucapan, dan perbuatan. Iman bisa bertambah,
dan bisa berkurang. Perlu dipahami juga bahwa iman itu terdiri dari
bagian-bagian, ada yang dikategorikan sebagai pokoknya dan ada pula yang
dikategorikan sebagai cabang atau penyempurna. Apabila pokoknya hilang
maka iman dikatakan batal, sedangkan apabila cabang atau penyempurnanya
saja yang hilang maka tidak dikatakan bahwa imannya batal, hanya saja
dia disebut sebagai mukmin yang berkurang imannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman
itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang paling
utama di antaranya adalah ucapan la ilaha illallah, yang paling rendah
adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu merupakan cabang
keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafazh Muslim, lihat
Kitabul Iman karya Ibnu Taimiyah, takhrij al-Albani, hal. 13). Menurut
Ahlus Sunnah wal Jama’ah amal merupakan bagian/rukun dari iman. Iman
tidak cukup dengan keyakinan dan ucapan sebagaimana yang diyakini oleh
kaum Murji’ah. Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri hafizhahullah mengatakan, “Di
dalam hadits ini terkandung dalil/landasan hukum untuk menyatakan bahwa
perbuatan anggota badan dan kondisi kejiwaan apabila sesuai dengan
syari’at Allah maka ia termasuk bagian dari iman. Hadits ini juga
menunjukkan bahwa iman itu laksana sebuah pohon yang terdiri dari pokok,
cabang, daun, dan buah-buahan…” (Minnatul Mun’im fi Syarh Shahih Muslim [1/77]). Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Perumpamaan seorang mukmin laksana pohon kurma. Apa pun yang bersumber darinya bermanfaat untukmu.” (HR. al-Bazzar, disahihkan sanadnya oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari)
Pelaku dosa besar tidak dikafirkan
Ahlus Sunnah membedakan antara perbuatan dosa besar yang apabila
dilakukan menyeret dalam kekafiran dengan perbuatan dosa besar yang
tidak menyebabkan kafir pelakunya. Berbeda dengan kaum Khawarij yang
menganggap bahwa pelaku dosa besar murtad dan kekal di dalam neraka jika
tidak bertaubat dari dosanya. Padahal, Allah ta’alatelah menyatakan bahwa dosa-dosa besar di bawah tingkatan syirik masih bisa diampuni. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allah akan mengampuni
dosa-dosa lain di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48). Ayat di atas dengan jelas
menunjukkan bahwa dosa di bawah tingkatan syirik masih mungkin untuk
diampuni, sementara ampunan tidak akan diberikan kecuali kepada orang
yang beriman. Di dalam hadits disebutkan bahwa Allah ta’ala berfirman, “Wahai
anak Adam, seandainya kamu datang menghadap-Ku dengan membawa dosa
hampir sepenuh bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun niscaya Aku akan menemuimu
dengan membawa ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, beliau
mengatakan hadits hasan sahih). Hadits ini menunjukkan bahwa selama
orang tidak melakukan dosa syirik atau dosa lain yang sederajat
dengannya maka dosanya masih mungkin diampuni. Hadits ini juga
menunjukkan keutamaan ikhlas (ibadah yang murni karena Allah) bahwa ia
merupakan sebab diampuninya dosa-dosa (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 290)
Dalam menyikapi pelaku dosa besar ada tiga kelompok utama yang
menyimpang dari jalan yang lurus (baca: manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
yaitu Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Golongan Khawarij menganggap
bahwa pelaku dosa besar kafir -di dunia- dan kekal di dalam neraka.
Adapun golongan Murji’ah menganggap bahwa pelaku dosa besar seorang
mukmin yang sempurna imannya dan tidak ada hukuman yang harus dijatuhkan
kepadanya. Sementara golongan Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa
besar di dunia tidak kafir tapi juga tidak beriman, atau biasa dikenal
dengan istilah manzilah baina manzilatain (di suatu posisi di
antara dua posisi). Meskipun demikian, Mu’tazilah sepakat dengan
Khawarij dalam menghukumi pelaku dosa besar kelak akan kekal di neraka
(lihat Mu’jam Alfazh al-’Aqidah, hal. 331).
Oleh sebab itu kita harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari akidah
dan rambu-rambu keimanan agar kita tidak tergelincir ke dalam
penyimpangan pemahaman seperti yang mereka alami. Dari sini pun kita
bisa menyibak salah satu alasan mengapa para ulama hadits senantiasa
mengawali pembahasan syari’at/ajaran Islam dengan menyebutkan Kitabul
Iman di bagian awal-awal kitab mereka seperti halnya Imam Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya (setelahKitab Bad’ul Wahyi dan Kitabul Ilmi) dan Imam Muslim rahimahullah dalam Shahihnya pada awal kitab setelah mukadimah Shahihnya. Adapun pembahasan pembatal-pembatal keislaman biasanya diletakkan di akhir setelah tuntas pembahasan tentang hakekat iman.
Pengertian Kemurtadan
Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338). Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah: menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan
kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia
dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di
dalamnya.” (QS. al-Baqarah : 217) (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
Penjatuhan vonis kafir/murtad
Vonis hukum kafir/takfir dapat dibagi menjadi dua kategori: takfir muthlaq dan takfir mu’ayyan. Yang dimaksud dengantakfir muthlaq
adalah kaidah umum yang diberlakukan bagi orang yang melakukan suatu
jenis perbuatan yang dimasukkan dalam kategori kekafiran (kufur akbar).
Seperti misalnya ucapan para ulama, “Barang siapa yang meyakini
al-Qur’an adalah makhluk maka dia kafir.” Ungkapan semacam ini bisa
dilontarkan oleh siapa saja selama dilandasi dalil al-Qur’an dan Sunnah
dengan pemahaman yang benar serta tidak ditujukan kepada suatu kelompok
atau individu tertentu. Adapun takfir mu’ayyan maka ia
merupakan bentuk penjatuhan vonis kafir kepada individu atau kelompok
orang tertentu. Jenis takfir yang kedua ini bukan hak setiap orang,
namun wewenang para ulama yang benar-benar ahlinya atau badan khusus
(ulama) yang ditunjuk oleh penguasa muslim setempat. Untuk menjatuhkan
vonis kafir kepada perorangan diperlukan tahapan-tahapan yang tidak
mudah dan syarat-syarat, sampai benar-benar terbukti bahwa yang
bersangkutan benar-benar telah melakukan kekafiran yang mengeluarkannya
dari agama (lihatMujmal Masa’il Iman al-’Ilmiyah fi ushul al-’Aqidah as-Salafiyah, hal. 17-18).
Macam-macam riddah/kemurtadan
[1] Riddah dengan sebab ucapan. Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala
atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul.
Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan
orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah
kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta
perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.
[2] Riddah dengan sebab perbuatan. Seperti contohnya
melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih
hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di
tempat-tempat yang kotor, melakukan praktek sihir, mempelajari sihir
atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan
meyakini kebolehannya.
[3] Riddah dengan sebab keyakinan. Seperti contohnya
meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai
sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa
sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman
sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan
sesuatu yang telah disepakati keharamannya.
[4] Riddah dengan sebab keraguan. Seperti meragukan sesuatu
yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan
diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamatau para Nabi yang lain.
Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam.
Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini
(lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)
Sepuluh Pembatal Keislaman
Berikut ini sepuluh perkara yang digolongkan sebagai pembatal
keislaman. Walaupun sebenarnya pembatal keislaman itu tidak terbatas
pada sepuluh perkara ini saja. Hanya saja sepuluh perkara ini merupakan
pokok-pokoknya, yaitu:
[1] Melakukan kemusyrikan dalam beribadah kepada
Allah. Yaitu menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka…”
(QS. al-Ma’idah: 72).
[2] Mengangkat perantara dalam beribadah kepada
Allah yang dijadikan sebagai tujuan permohonan/doa dan tempat meminta
syafa’at selain Allah.
[3] Tidak meyakini kafirnya orang musyrik,
meragukan kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan keyakinan mereka.
[4] Keyakinan bahwa ada petunjuk dan hukum selain tuntunan Nabi yang
lebih sempurna dan lebih baik daripada petunjuk dan hukum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[5] Membenci ajaran Rasul, meskipun dia juga ikut melakukan ajaran itu.
[6] Mengolok-olok ajaran agama Islam, pahala atau siksa.
[7] Sihir.
[8]
Membantu kaum kafir dalam menghancurkan umat Islam.
[9] Keyakinan bahwa
sebagian orang boleh tidak mengikuti syari’at Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganalogikannya dengan Nabi Khidr bersama Nabi Musa ‘alaihimas salam.
[10] Berpaling total dari agama, tidak mau mempalajari maupun mengamalkannya (lihat Nawaqidh al-Islam, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah hal. 2-4 software Maktabah asy-Syamilah).
Hukum yang terkait dengan orang murtad
[1] Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi
hukuman. Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang
waktu tiga hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman.
[2] Apabila
dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR.
Bukhari dan Abu Dawud).
[3] Kemurtadannya menghalangi dia untuk
memanfaatkan hartanya dalam rentang waktu dia diminta tobat. Apabila dia
bertobat maka hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau maka hartanya
menjadi harta fai’ yang diperuntukkan bagi Baitul Maal sejak dia dihukum
bunuh atau sejak kematiannya akibat murtad. Dan ada pula ulama yang
berpendapat hartanya diberikan untuk kepentingan kebaikan kaum muslimin
secara umum.
[4] Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari
kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.
[5] Apabila
dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman murtad maka mayatnya
tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di pekuburan kaum
muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir atau di kubur di
tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 33). Demikian penjelasan yang ringkas ini, semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. [Ari Wahyudi