Di masa pemilu dahulu
Kami lihat gerak bola matamu seperti radar angkatan
perang
Yang dapat melacak suara jangkrik di waktu siang
Sehingga, kami sempat percaya bahwa
Tuan-tuan tahu apa yang kami mau
Kami pun sempat percaya bahwa Tuan-tuan akan menjadi pelindung kami dari orang-orang yang hanya ingin memperkaya diri sendiri yang hanya ingin menjadikan kuasa dan harta sebagai senjata
Lewat retorikamu di saat kampanye dulu
Kami percaya
Tuan-tuan akan akan bersiaga untuk kami sepanjang waktu
Menunggu keluh kesah rakyatmu
Menampung dan merundingkan aneka kehendak kami diantara sesama para politisi
Tetapi setelah masa kampanye jauh berlalu Kursi berputar menyambut sibukmu
Rumah rakyat yang sejuk mememelukmu
Birokrasi menjadi penyaring tamu-tamumu Kita pun berjarak seperti tak pernah saling tahu
Jauh di luar ruang kerjamu ada pagar kekar berteralis baja
Di sana kami berdiri berharap akan sapaanmu dan bersiap dengan pertanyaan:
Mengapa diammu bukan lagi perenungan?
Mengapa tidurmu bukan lagi jeda pengabdian?
Mengapa retorikamu menjadi tanpa logika?
Di kejauhan pun kami mendengar
Suara tinggi mu menggelegar menggertak usulan rakyatmu sendiri yang tengah berharap tegaknya demokrasi sejati
lewat
Pemilu dan Pilkada yang bisa menghasilkan
pemimpin sejati(Kami pun bertanya,
“Mengapa tuan-tuan tidak berkenan ketika ada orang ingin menjadi pemimpin sejati negeri ini?”)
Dengan sigap tuan-tuan berujar,
“Calon perorangan merusak sistem!”
“Calon perorangan harus didukung 15% suara sah!”
Dan seterusnya.. dan seterusnya…
Kami menjadi teringat ketika berjalan menuju ruangan
kantormu
Di sana kami melintasi para penjaga berseragam bak
bala tentara Kaisar Romawi
Yang sigap menyuruh kami memarkir kendaraan jauh dari
halaman parkirmu
Sehingga kami harus berlari menghindari sengatan terik
matahari
Masih bisakah kami percayai janjimu
Ketika acungan telunjukmu bukan lagi tanda janji
Tetapi pengawal ucapanmu bahwa wakil rakyat adalah pemilik kekuasaan legislasi
Kami pun mulai sadar bahwa wakil rakyat di zaman kini
sudah membedakan antara penyalur aspirasi dan kekuasaan legislasi sudah membedakan antara kompetisi dan demokrasi
Di media massa kami membaca
Retorika-retorika barumu yang merobek makna dan jawaban-jawabanmu yang makin jauh dari logika
mencampuradukkan energi sekumpulan partai dengan
energi seorang manusia yang tidak ada contohnya di mancanegara
Kini kami merasa seperti orang-orang yang ditinggal
pergi
Oleh Tuan-tuan yang dulu mengaku ingin menjadi
wakil-wakil kami dan dulu pernah memberi janji
bahwa engkau akan menampung suara hati kami
Tetapi ternyata waktu itu kami hanya bermimpi
Retorika dan olah mimikmu tentu saja membuat banyak
orang terpesona melumpuhkan niat orang-orang muda yang akan berdemonstrasi
Bahkan membuat para lansia mengangguk-angkuk sambil
tertawa
Yang memberi pertanda bahwa akal sehat tidak lagi
berdaya
Karena logika menjadi tidak berguna
Sementara politik dilanda krisis etika dan kebijakan-kebijakan tercerabut dari kedaulatan rakyat maka hari ini kami menyapamu dengan puisi
Sebelumnya: Ludah yang kering
Selanjutnya : Seorang Tukang Kayu