
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan para pengikut Beliau sampai hari Kiamat.
Ketika Iblis dikeluarkan dari Surga dan diberi kesempatan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk hidup sampai hari Kiamat, ia berjanji akan menyesatkan hamba-hamba Allah dengan segala cara. Allah Ta’ala berfirman:
ثُمَّ َلآَتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ
وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ
وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِيْنَ (17)
“(Iblis mengatakan): ‘Kemudian aku akan mendatangi mereka dari
muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan
Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raaf: 17)
Inilah janji Iblis kepada Allah Ta’ala. Perhatikanlah ucapan
yang disampaikan Iblis, bahwa dia memiliki sangkaan yang kuat
bahwasanya manusia ini akan banyak yang dapat disesatkan dan mengikuti
ajakannya. Sungguh, sangkaan Iblis sama sekali tidak keliru dan bahkan
Allah Ta’ala membenarkan sangkaan Iblis ini. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ صَدَّقَ عَلَيْهِمْ إِبْلِيسُ ظَنَّهُ فَاتَّبَعُوْهُ إِلاَّ فَرِيْقًا مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ (20)
“Dan sungguh Iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya
terhadap mereka, lalu mereka pun mengikutinya, kecuali sebahagian
orang-orang yang beriman.” (QS. Saba’: 20)
Sangkaan Iblis bahwa manusia ini banyak yang tidak pandai bersyukur, juga sangkaan yang benar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ (13)
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13).
Pada ayat yang lainnya, Allah Ta’ala berfirman:
اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا
إِنَّ اللهَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُوْنَ (61)
“Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang
dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
bersyukur.” (QS. Al-Mu’min: 61)
Dan Allah Ta’ala juga menegur kita semua dengan firman-Nya:
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ قَلِيْلاً مَا تَشْكُرُوْنَ (78)
“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian,
pendengaran, penglihatan dan hati. (Akan tetapi) amat sedikit sekali
kamu bersyukur.” (QS. Al-Mukminuun: 78).
Iblis beserta pasukannya terus berusaha menggoda manusia dengan
segala cara. Mereka mengajak manusia berlomba-lomba dalam urusan duniawi
sehingga manusia pun menghabiskan waktunya untuk mengumpulkan harta
duniawi yang akan sirna dan ditinggalkan. Manusia juga menjadi lupa dan
lalai akan kampung Akhirat, merasa bosan dengan amal sholih dan merasa
senang dengan kemaksiatan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita agar menjadikan syaithon sebagai musuh kita. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا
إِنَّمَا يَدْعُوْ حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوْا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ (6)
“Sesungguhnya syaithon itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka
anggaplah ia sebagai musuh(mu), karena sesungguhnya syaithon-syaithon
itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni Neraka
yang menyala-nyala.” (QS. Al-Fathiir: 6)
Pada awalnya, Iblis dan pasukannya akan mengajak manusia kepada
kemaksiatan yang paling besar yaitu dosa kesyirikan (mempersekutukan
Allah Ta’ala dalam ibadah) dan dosa kekafiran. Dosa kesyirikan
ini akan membatalkan keislaman. Apabila seorang hamba jatuh ke dalam
gelapnya dosa kesyirikan ini dan belum ditaubati semasa hidup sehingga
dibawa mati, niscaya seluruh pintu ampunan Allah akan tertutup baginya
dan menjadikannya kekal abadi di Neraka.
Kalau tidak bisa menjatuhkan manusia ke dalam dosa kesyirikan atau
dosa kekafiran, Iblis akan menyibukkan manusia dengan amalan-amalan
ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka capek beramal namun amalnya tidak Allah terima. Silahkan membuka penjelasan masalah ini pada pembahasan Syarat Diterimanya Amal.
Kalau tidak bisa pula, Iblis akan mengajak manusia ke dalam dosa-dosa
besar. Dan kalau tidak berhasil pula, maka ia akan mengajak manusia
bergelimang ke dalam dosa-dosa kecil.
Jangan Meremehkan Dosa Kecil
Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk meninggalkan
semua perbuatan dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Dan dalam
perintah-Nya, Allah Ta’ala tidak menyebutkan dosa-dosa besar saja yang harus kita tinggalkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا (7)
“Dan apa yang dilarang Rasul bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Ibnul Jauzi rahimahullah, dalam Shaidul Khaathir, hal. 313, mengatakan,
“Tidak seorang pun yang menceburkan dirinya ke dalam kemaksiatan
–sekecil apapun- kecuali ia akan mendapatkan balasannya, cepat atau
lambat. Salah satu bentuk tipu daya-Nya adalah engkau melakukan
kemaksiatan, namun engkau memandangnya sebagai suatu kebaikan. Engkau
mengira bahwa engkau sudah dimaafkan dan (dosamu sudah) dilupakan.
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ … (123)
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (QS. An-Nisaa’: 123)
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Ketahuilah, salah satu
bentuk ujian yang paling besar adalah tertipunya seorang hamba dengan
merasa aman dan selamat dari adzab setelah ia melakukan dosa.
Sesungguhnya balasan itu datang kemudian. Salah satu balasan yang paling
besar adalah ketidak-tahuan seseorang terhadap balasan itu, menganggap
remeh terhadap agama, kebutaan mata hati, dan ketidak-mampuan dalam
menentukan pilihan yang baik untuk dirinya sendiri sehingga dapat
mempengaruhi keselamatan dan timbulnya kebosanan.” (Shaidul Khaathir, hal. 314 – 315)
Kita mungkin bisa menghindarkan diri kita dari dosa besar seperti
zina, mencuri, dan dosa-dosa besar lainnya, namun kita kadang terlalu
longgar melakukan dosa-dosa kecil dan meremehkannya. Sesungguhnya dosa
kecil akan menjadi besar jika diremehkan. Demikian pula dosa kecil akan
menjadi besar dengan sebab-sebab yang lainnya.
Beberapa Sebab Dosa Kecil Menjadi Dosa Besar
Pembaca yang dimuliakan Allah, berikut ini beberapa sebab yang menjadikan dosa kecil menjadi dosa besar. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
Pertama : Ishrar (terus menerus dilakukan)
Makna ishrar di sini adalah ketagihan dalam melakukan maksiat.
Artinya kemaksiatan tersebut sering dilakukan atau dijadikan kebiasaan.
Jika dosa kecil dilakukan terus-menerus, niscaya akan menjadi besar sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
لاَ كَبِيْرَةَ مَعَ اْلاِسْتِغْفَارِ وَلاَ صَغِيْرَةَ مَعَ اْلإِصْرَارِ
“Tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar (meminta
ampun pada Allah) dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus
menerus.” (Dikutip dari Dhoif Al-Jaami’, no. 6308 dan diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, mauquf dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Dan diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ مُحْقِرَاتِ الذُّنُوْبِ مَتَى يُؤْخَذُ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكُهُ
“Dan sesungguhnya dosa-dosa kecil itu selama dikumpulkan oleh pelakunya, niscaya akan membinasakannya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad dan dinilai shohih oleh Al-Albani dalam Silsilah Ahadiits Shohiihah, 1/129 no. 389)
Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mudah memberikan ampunan
untuk dosa-dosa besar yang disudahi dan tidak diulang lagi, dari pada
dosa kecil yang dijadikan kebiasaan dan terus-menerus dilakukan. Oleh
karena itu, jika kita sudah bertaubat dari dosa besar, janganlah diikuti
dengan melakukan dosa besar yang lainnya. Demikian pula janganlah
diikuti dengan terus-menerus melakukan dosa kecil. Akan tetapi,
hendaklah kita mengganti perbuatan buruk itu dengan amal kebaikan,
niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan dosa keburukan. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِيْنَ (114)
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
(dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.” (QS. Huud: 114)
Kedua : Diremehkan dan dianggapnya kecil
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku:
يَا عَائِشَةَ إِيَّاكَ وَمُحْقِرَاتِ اْلأَعْمَالِ فَإِنَّ لَهَا مِنَ اللهِ طَالِبًا
“Wahai ‘Aisyah, janganlah kamu meremehkan amal perbuatan yang
kecil, karena sesungguhnya amal itu akan dimintai pertanggungjawaban
oleh Allah.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Az-Zuhd dan dinilai shohih oleh Al-Albani dalam Shohiih Sunan Ibni Majah, no. 4233).
‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ،
وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan ia duduk
di bawah gunung dan khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan
orang yang fajir (yang gemar maksiat), melihat dosa-dosanya seperti
seekor lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang hidungnya.” (Shohih. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shohiih-nya no. 6308).
Semakin besar sikap seseorang dalam meremehkan dosa yang dilakukannya, maka semakin besar pula dosa itu di sisi Allah Ta’ala.
Dan setiap kali seseorang menganggap besar dosa yang dilakukannya, maka
semakin kecil dosa tersebut di sisi Allah. Mengapa demikian?
Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala, orang yang meremehkan sebuah dosa pasti di dalam hatinya tidak ada pengagungan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla. Semakin besar sikap seorang hamba dalam meremehkan suatu dosa, semakin rendah pula pengagungannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebaliknya, ketika seseorang menganggap dosanya sebagai dosa besar,
lalu ia menyesalinya, hal ini menunjukkan kebenciannya terhadap
perbuatan dosa dan berusaha menjauh darinya. Suatu dosa akan terlihat
besar bagi seorang mukmin, karena ia mengetahui keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila seorang hamba melihat keagungan Dzat yang dimaksiati, niscaya dosa-dosa kecil akan terlihat besar baginya.
Oleh karena itulah, jika kita membaca kehidupan para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
niscaya kita akan tahu bahwa mereka adalah sosok manusia yang paling
jauh dari dosa dan paling takut terjerumus ke dalam perbuatan maksiat,
karena mereka adalah manusia yang paling mengetahui dan mengenal
keagungan Allah Ta’ala. Anas bin Malik rahiyallahu ‘anhu mengatakan,
إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُوْنَ أَعْمَالاً هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ
إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مِنَ الْمُوْبِقَاتِ
“Sungguh kalian akan melakukan berbagai amal yang dalam pandangan
kalian amal-amal itu lebih rendah daripada rambut, sedangkan pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salllam, kami menganggapnya sebagai
salah satu yang dapat membinasakan.” (Shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6492)
Bilal bin Sa’ad rahimahullah mengatakan, “Janganlah engkau melihat kecilnya suatu dosa, namun hendaklah engkau melihat siapa yang engkau durhakai.” (Minhaajul Qoshidiin, 282)
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Setiap kali engkau menganggap kecil suatu dosa, maka dosa itu akan menjadi besar di sisi Allah Ta’ala. Sebaliknya, setiap kali engkau menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu akan menjadi kecil di sisi Allah Ta’ala.” (Dzammul Hawa, karya Ibnul Jauzi, hal. 184)
Al-Auza’I rahimahulllah mengatakan, “Disebutkan bahwa dosa besar adalah seseorang yang melakukan suatu dosa, kemudian ia meremehkannya.” (At-Taubah, karya Ibnu Abid Dun-ya, hal. 78)
Seorang hamba yang terjerumus ke dalam dosa besar, dan ia pun
benar-benar menganggap dosanya itu sebagai dosa besar, lalu ia menyesal,
malu dan takut kepada Allah Ta’ala, niscaya dosanya itu akan
menjadi kecil di sisi Allah. Sebaliknya, dosa kecil yang diikuti oleh
minimnya rasa malu, tidak ada rasa takut, dan bahkan diremehkan, niscaya
akan menjadi dosa besar di sisi Allah Ta’ala. Dan permasalahan ini, kembali kepada kondisi hati masing-masing hamba.
Ketiga : Merasa bangga dengan dosanya
Ini adalah musibah yang sangat besar, yang menimpa hati manusia,
dimana seorang hamba merasakan manisnya bermaksiat kepada Rabbnya dan
merasa bangga ketika melakukannya. Padahal kemaksiatan yang dilakukan
adalah racun yang dapat mematikan hatinya.
Gembira dengan dosa yang dilakukan dan bangga dengannya, akan menjadikan dosa itu menjadi besar. Misalnya adalah ucapan: “Wah, kamu tidak melihatku, bagaimana aku bisa main game semalam suntuk tanpa henti dan menang beberapa kali..!!!”
Bermain game akan menghabiskan waktu, harta (biaya listrik), umur dan
kesempatan beramal sholih. Kalaupun kita anggap sebagai dosa kecil
karena menyia-nyiakan waktu dan harta, akan tetapi dosa ini akan menjadi
dosa besar jika merasa bangga melakukannya. Dan tentunya lebih tercela
lagi jika menginginkan pujian dengan dosanya ini.
Keempat : Di-jahr-kan (dilakukan secara terang-terangan)
Kaum muslimin rahimakumullah, Allah Ta’ala memberikan ancaman yang keras bagi orang yang menyebarluaskan kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آَمَنُوْا
لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآَخِرَةِ (19)
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita tentang)
perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. An-Nuur: 19)
Maksiat yang disebarluaskan akan mengundang hasrat orang lain untuk
ikut melakukannya dan secara tidak langsung pelakunya telah mengajak
orang lain untuk bermaksiat.
Dan diantara bentuk men-jahr-kan perbuatan maksiat adalah
orang yang melakukan kemaksiatan tersembunyi kemudian
dicerita-ceritakan. Orang seperti ini telah menyia-nyiakan kebaikan
Allah yang telah menutupi aibnya dan mengasihinya. Ia telah meremehkan
dan menyepelekannya dengan membuka aibnya sendiri.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ
وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً
ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُوْلَ:
يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا،
وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Semua umatku akan diampuni kecuali orang-orang yang menjahrkan
dosanya. Dan di antara bentuk menjahrkan dosa adalah seseorang yang
melakukan maksiat di malam hari, dan Allah telah menutupinya, kemudian
pada waktu pagi hari dia mengatakan, “Wahai fulan, tadi malam aku telah
melakukan ini dan ini.” Padahal Allah telah menutupinya sedangkan pada
pagi hari dia membuka aibnya sendiri yang telah Allah tutupi.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990).
Orang yang men-jahr-kan dosanya, sekurang-kurangnya akan mendapatkan dua dosa, yakni :
- dosa karena maksiatnya.
- dosa karena menyia-nyiakan kebaikan Allah Ta’ala yang telah menutupi aibnya.
Men-jahr-kan dosa juga akan menjatuhkan martabat pelakunya
di hadapan manusia yang lainnya. Orang lain pun tidak akan segan-segan
lagi menyebar-luaskankan aibnya karena mereka menganggap bahwa pelakunya
sendiri tidak malu jika aibnya diketahui oleh orang lain, sebagaimana
di pagi hari ia tidak malu menceritakan aibnya berupa kemaksiatannya di
malam hari. Jika kondisinya seperti ini, maka pelaku dosa ini akan
mendapatkan ancaman dari Allah Ta’ala berupa hukuman di dunia dan di akhirat, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nuur ayat 19 yang telah kami sampaikan di awal.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آَمَنُوْا
لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآَخِرَةِ (19)
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita tentang)
perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. An-Nuur: 19)
Ancaman dalam ayat ini berlaku umum, yakni bagi orang yang
menyebar-luaskan aibnya sendiri maupun bagi orang yang menyebarluaskan
aib orang lain. Wallahu Ta’ala a’lam.
Kelima : Apabila pelaku dosa adalah tokoh panutan bagi umat
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِمِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ
لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا،
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ
لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَمِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, niscaya ia akan
mendapatkan pahala sebagaimana orang yang mengikutinya tanpa dikurangi
pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan,
niscaya ia akan mendapatkan dosa sebagaimana orang yang mengikutinya
tanpa dikurangi dosa mereka sedikitpun.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2674)
Seorang tokoh agama yang menjadi panutan bagi yang lainnya, hendaknya
ia meninggalkan dosa dan menyembunyikan aibnya jika terlanjur
melakukannya.
Apabila seorang tokoh agama melakukan dosa kemudian dicontoh oleh
para santri atau masyarakatnya, maka ia akan mendapatkan dosa seperti
dosa orang-orang yang mengikutinya. Semakin banyak yang mencontoh amal
jeleknya semakin berlipat-lipat dosanya sesuai banyaknya orang yang
mencontohnya. Jika tokoh agama ini mati, sementara orang-orang yang
hidup masih mencontoh perbuatan maksiatnya, maka kitab catatan amalnya
belum ditutup dan terus ditambahkan catatan dosa ke dalam gulungan
catatan amalnya. Na’udzuubillaahi min dzaalik. Maka beruntunglah mereka yang meninggal sedang dosa-dosanya juga mati bersamanya.
Keenam : Apabila dilakukan pada tempat atau waktu
yang mulia, yang mana ada ayat atau hadits shohih yang menjelaskan
tentang dilipatgandakannya dosa yang dilakukan di tempat atau waktu yang
mulia itu.
Misalnya maksiat yang dilakukan di Masjidil Haram, dosanya akan
dilipat-gandakan dibandingkan di tempat lain. Demikian pula jika
perbuatan maksiat itu dilakukan pada bulan Haram. Silahkan membuka
kembali penjelasan masalah ini pada artikel dengan judul Keutamaan Bulan Muharram.
Penutup
Demikianlah beberapa perkara yang dapat menjadikan dosa kecil menjadi
dosa besar. Jika dosa kecil menjadi besar dengan sebab-sebab di atas,
maka apabila dosa besar ditambah dengan salah satu saja sebab di atas,
tentulah akan menjadi semakin besar. Misalnya ghibah (menggunjing) dan
menyebarkan aib orang lain adalah dosa besar. Apabila pelakunya merasa
bangga dengan perbuatan ghibah yang dia dilakukan, maka dosanya akan
menjadi semakin besar lagi.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga beliau, para Sahabat dan seluruh kaum muslimin sampai hari Kiamat.
Sumber : Buletin at-Taubah edisi 24 dan 25.