A. Latar Belakang
Sebagai negara yang berkembang, Indonesia melaksanakan pembangunan di berbagai bidang. Salah satu aspek pembangunan adalah pembangunan di bidang hukum, yang sangat diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Sesuai dengan ketentuan yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Untuk menegakkan negara hukum serta untuk menegakkan tertib hukum guna mencapai tujuan negara Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila. Dalam mencapai tujuan tersebut tidaklah jarang terjadi permasalahan-permasalahan hukum. Hal ini disebabkan antara lain oleh karena para pihak (pejabat) dalam melaksanakan tugasnya kurang atau tidak berdasarkan kepada asas hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.
Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Memang salah satu sifat dari hukum adalah dinamis. Pada aliran sosiologis, yang dipelopori oleh Hammaker, Eugen Ehrlich dan Max Weber, berpendapat : “Hukum merupakan hasil interaksi sosial dengan kehidupan masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya, lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum merupakan kaca dari pembangunan masyarakat.”
Bangsa Indonesia selain mengalami perkembangan secara pesat dalam bidang hukum semenjak era orde baru berakhir, juga mengalami perkembangan dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan teknologi, tetapi disadari atau tidak oleh masyarakat bahwa tidak selamanya perkembangan itu membawa dampak yang positif, melainkan juga dampak negatif, seperti yang telah terjadi di masyarakat, antara lain perkosaan, pelecahan sexual, dan pornografi.
Institusi keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, beberapa tahun terakhir ini dikatakan sebagai tempat paling rawan bagi munculnya tindak kekerasan, khususnya terhadap anak adalah fisik, seksual dan psikologi berupa tindakan-tindakan pengancaman.
Kekerasan terhadap anak dalam keluarga, selama ini tak pernah didefinisikan sebagai persoalan sosial. Akibatnya nyaris mustahil bagi anak meminta bantuan untuk mengatasi kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya. Persoalan muncul ketika orang tua tidak lagi menghayati nilai cinta kasih yang sama dengan anak.
Ada satu hal yang terabaikan dalam ketidaksepadanan pola hubungan di atas, yaitu bahwa orang tua sebenarnya mempunyai tanggung jawab untuk memimpin (to head) dan mengasihi (to love). Orang tua sebagai pelaku tindak kekerasan hanya menjalankan salah satu tanggung jawab saja, yaitu memimpin tanpa belas kasih, bertindak otoritas dan kejam. Sementara anak yang sebenarnya merupakan tanggung jawab atau amanah, harus menerima apa gaya kepemimpinan orang tua. Menghadapi kekerasan yang dilakukan orang tua, anak bahkan menjalankan praktek bisu dengan harapan kebisuan itu suatu saat mampu mengembalikan keluarga yang didambakannya sebagai tempat dimana ia bisa merajut masa depannya.
Penganiayaan terhadap anak adalah pelanggaran HAM terparah yang belum diakui oleh dunia. Disamping menyebabkan luka-luka, penganiayaan juga memperbesar resiko jangka panjang terhadap masalah kesehatan lainnya termasuk penyakit kronis, cacat fisik, penyalahgunaan obat dan alkohol. Anak dengan riwayat penganiayaan fisik dan seksual juga meningkatkan resiko untuk mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual (PMS) dan kehamilan yang kurang baik.
Mitos-mitos seputar kekerasan yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa kekerasan hanya terjadi pada kelompok berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Tetapi, kenyataannya justru menunjukkan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di kelompok berpendidikan menengah ke atas. Jadi kekerasan terjadi di semua lapisan sosial masyarakat, agama, politik maupun latar belakangan pendidikan. Ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap khususnya terhadap seorang anak bukan disebabkan oleh situasi ekonomi atau tinggi rendahnya pendidikan seseorang.
Laki-laki khususnya figur seorang ayah, secara fisik lebih kuat, karena itu tingkat agresifitasnya lebih tinggi. Dalam masyarakat, laki-laki sejak kanak-kanak disosialisasikan untuk menggunakan kekuatan fisiknya agar dapat memimpin keluarga. Budaya yang ada dalam masyarakat selama ini menempatkan dominasi laki-laki terhadap keluarga.
Ketergantungan ekonomi memaksa perempuan untuk menerima penganiayaan dari orang pada siapa ia bergantung. Dalam hal terjadinya kekerasan orang tua terhadap anaknya, seorang ayah yang karena tidak mampu menahan nafsu birahinya tega melakukan tindak kekerasan seksual terhadap seorang anak dengan cara mencabuli anak tirinya sendiri yang sebenarnya anak tersebut masih di bawah umur. Padahal sebagai seorang ayah seharusnya ia menjaga dan merawat anaknya sampai tumbuh dewasa karena anak merupakan kehormatan keluarga walaupun anak tersebut bukan anak kandungnya sendiri.
Mendapatkan keadilan dari pihak-pihak yang berwenang adalah harapan bagi setiap orang khususnya bagi korban yang merasa harga dirinya terinjak-injak. Untuk mendapatkan keadilan tersebut jalan satu-satunya adalah melalui jalan pengadilan agar si pelaku menjadi jera dengan diberikannya sanksi pidana yang setimpal atas perbuatannya. Namun demikian, sebagaimana diketahui, bahwa lembaga peradilan yang seharusnya menjadi cerminan dari suatu keadilan kadang-kadang tidak menjadi lembaga yang berfungsi sebagaimana seharusnya. Hakim yang seharusnya wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, ternyata dalam mengambil keputusannya untuk menghukum terdakwa tidak memperhatikan asas-asas hukum pidana yang berlaku, sehingga dapat berakibat tidak tercapainya hukum yang dapat berfungsi semaksimal untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakat maupun individu.
Suatu putusan dari hakim merupakan sebuah hukum bagi terdakwa pada khususnya dan menjadi sebuah hukum yang berlaku luas apabila menjadi sebuah yurisprudensi yang akan diikuti oleh para hakim dalam memutus suatu perkara yang sama. Apabila suatu perkara yang diputus sudah keliru dan pada akhirnya menjadi sebuah yurisprudensi, maka yang terjadi adalah tidak terciptanya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang dicantumkan dalam setiap putusan hakim.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penulis membatasi permasalahan skripsi ini sebagai berikut :
- Bagaimana tindak pidana pencabulan dalam putusan No. 1050/Pid.B/2004/PN/SBY dilihat dari hukum positif di Indonesia ?
- Bagaimana proses peradilan dari tindak pidana pencabulan dalam putusan pengadilan No. 1050/Pid.B/2004/PN/Sby ?
www.lawskripsi.com publised on October 2008
by Onti-Rug